Ada kalanya aku duduk di teras sambil menatap kotak perhiasan nenek yang penuh bekas waktu — ada kalung yang hampir putus, cincin dengan ukiran pudar, dan sepasang anting yang entah dari era mana. Dari sana aku mulai kepo: kenapa logam kuning ini selalu sukses membuat orang terpesona? Tulisan ini kayak curhat singkat campur sharing ilmu ringan tentang sejarah emas, tren perhiasan sekarang, soal cincin nikah, sampai tips investasi. Santai aja, nggak baku, kaya ngobrol sama teman di kafe.
Dari Fir’aun sampai feed Instagram: sejarah singkat yang gokil
Emas itu bukan barang baru. Dari Mesir kuno sampai kerajaan Asia Tenggara, emas sudah dipakai buat simbol kekuasaan, upacara religi, dan tentu saja, hiasan. Di Mesir, emas dianggap “daging para dewa” dan orang desain perhiasan dengan simbol-simbol yang penuh makna. Lalu di zaman Romawi, emas jadi mata uang, sedangkan di Indonesia, emas batangan dan perhiasan sering dipakai sebagai penanda status sosial—atau jaga-jaga kalau ekonomi lagi goyang.
Nah, uniknya emas bertahan karena dua hal: nilainya yang relatif stabil dan sifatnya yang awet. Kalau zaman dulu musti diukir dengan tangan, sekarang modelnya bisa muncul dari tren TikTok dalam semalam. Tapi jejak sejarah itu tetap bikin setiap potongan perhiasan punya cerita. Keren, kan?
Tren emas: kilau yang nggak pernah basi (tapi modelnya suka berubah)
Kalo ngomongin tren, aku sering merasa perhiasan itu kayak fashion — yang chunky, yang minimalis, yang vintage. Beberapa tahun belakangan, misalnya, ada kebangkitan signet ring, rantai chunky ala 90-an, dan juga preferensi untuk emas 18K ketimbang 24K karena lebih tahan pakai. Rose gold pernah jadi primadona, sekarang putih dan kuning lagi rebut perhatian. Selain itu, ada juga pergeseran ke arah emas daur ulang dan etis karena pembeli semakin peduli soal asal-usul bahan.
Buat yang suka hunting perhiasan online, banyak toko kecil dan brand lokal yang kreatif. Aku pernah kepo beberapa, termasuk yang klasik dan profesional seperti bombardierijewellers, biar nggak cuma terpaku ke etalase mall. Intinya, tren akan berganti, tapi kualitas dan cerita di balik perhiasanlah yang bikin nilainya awet.
Cincin nikah: bukan cuma ‘iya’ di jari
Cincin nikah itu kombinasi antara simbol, style, dan—jujur—budget. Ada pasangan yang memilih emas kuning tradisional karena keluarga, ada juga yang lebih suka platina atau emas putih karena tampilannya modern. Pilihan model juga bermacam: simple band, cincin berlian halo, hingga custom dengan inisial atau motif yang meaningful.
Satu pelajaran dari pengalaman temanku: jangan tergoda beli cincin cuma karena “lagi promo”. Cincin itu dipakai seumur hidup, jadi nyaman di jari dan desainnya harus sesuai kepribadian kamu berdua. Kalau mau investasi, cincin tanpa batu besar bisa lebih liquid karena markup lebih rendah dibanding cincin berlian bermerek.
Tips investasi perhiasan: biar nggak salah langkah (dan nggak nangis pas jual)
Oke, kita masuk bagian serius tapi masih santai. Investasi perhiasan berbeda dengan investasi emas batangan. Beberapa tips dari aku yang sempat nyemplung dan belajar dari kesalahan orang lain:
Pertama, pahami kadar — 24K itu murni tapi lembut; 18K atau 14K lebih awet untuk dipakai sehari-hari. Kedua, cek hallmark dan sertifikat; jangan beli cuma karena modelnya lucu tanpa bukti keaslian. Ketiga, pertimbangkan likuiditas: perhiasan dengan desain simple dan berat yang jelas biasanya lebih mudah dijual kembali daripada barang bermerek tinggi yang mark-up-nya besar. Keempat, simpan bukti pembelian dan foto kondisi awal; penting buat klaim asuransi atau proses jual nanti.
Selain itu, jangan lupa simpan di tempat aman dan pertimbangkan asuransi bila nilainya besar. Diversifikasi juga penting: gabungkan pembelian perhiasan dengan emas batangan atau ETF emas kalau mau exposure ke emas tanpa repot jual perhiasan. Dan terakhir, beli dari penjual tepercaya — bukan cuma karena harga murah, tapi juga reputasi dan kebijakan tukar/jual kembali.
Akhir kata, perhiasan itu adalah perpaduan antara hati dan akal. Ada nilai emosional yang seringkali nggak kelihatan di buku catatan, tapi juga ada nilai ekonomis yang bisa kamu rencanakan. Buat aku, menemukan cincin atau kalung yang punya cerita itu kaya nemu sahabat lama—nggak selalu soal berkilau, tapi soal kenangan yang nempel terus. Sampai jumpa di catatan berikutnya, mungkin aku bakal cerita tentang koleksi rantai yang hampir bikin dompet nangis. Hehe.